ISLAM AGAMA KESEHATAN

ISLAM AGAMA KESEHATAN

Rabu, 10 November 2010

DPR dan Kesantunan Berbicara

Home Republika Online
Minggu, 07 November 2010 pukul 09:48:00

DPR dan Kesantunan Berbicara


Hari Sabtu (30/10), saya menghadiri 'Seminar Nasional Bulan Bahasa 2010' yang diselenggarakan Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Dalam acara itu juga diadakan peluncuran buku Drs Abdul Chaer (70) berjudul Telaah Bibliografi Kebahasaan Bahasa Indonesia/Melayu .

Pengamat budaya Betawi/Jakarta itu adalah staf pengajar senior UNJ yang telah menyusun kamus Bahasa Indonesia dan kamus Dialek Jakarta. Yang menarik, pada salah satu bukunya yang lain berjudul Kesantunan Berbahasa , Abdul menyayangkan perilaku dan cara bertutur yang tidak santun seperti yang diperlihatkan para anggota DPR. Sampai-sampai kata-kata 'bangsat' dari mulut anggota DPR yang terhormat itu.

Kita masih ingat, ketika awal 2010 menyaksikan lewat layar televisi yang disiarkan secara langsung betapa ricuhnya sidang paripurna DPR RI ketika akan mengambil keputusan mengenai Bank Century.

Memang, pada awal hingga pertengahan sidang semua tampak lancar, meskipun di sana-sini kita lihat ada anggota yang asyik ngobrol . Ada yang mulai menguap, ada yang asyik menelepon dan ber-SMS.

Menjelang berakhirnya sidang, ketika ketua sidang berbicara, keadaan mulai ricuh. Permintaan 'interupsi' mulai terdengar dari berbagai sudut ruangan. Mungkin karena permintaan interupsi tidak diladeni pimpinan sidang, maka kata-katanya berubah menjadi teriakan 'Ambil alih pimpinan sidang'.

Tidak jelas siapa yang menyuruh dan siapa yang disuruh, malah ada pula teriakan 'lapar, lapar, lapar'. Di samping itu ada pula yang berbicara 'hak bicara saya jangan dimutilasi'. Bahkan ada yang bernyanyi-nyanyi dengan suara keras. Kericuhan bukan hanya dilakukan dengan teriakan-teriakan, tetapi juga dengan tindakan-tindakan seperti naik ke atas kursi atau melompat ke tempat pimpinan sidang. Suasana menjadi seperti tidak ada aturan atau tata tertib persidangan.

Di mata Abdul Chaer, suasananya mirip seperti di lapangan sepak bola kita yang selama ini memang kita kenal penuh dengan kericuhan. Bedanya, kalau di lapangan sepak bola pelaku kericuhan berpakaian seadanya, di ruang sidang DPR para pelakunya berpakaian rapi, berjas, dan berdasi. Memang, ruang sidang DPR adalah ruang terhormat. Namun, sayang para anggotanya banyak yang tidak bisa menjaga kehormatan itu.

Menurut Abdul Chaer dalam buku Kesantunan Berbahasa , bila dilihat dari kajian pragmatik (ilmu yang mengkaji penggunaan bahasa), para anggota DPR yang terhormat itu telah melanggar dua hal, yakni melanggar kesantunan bahasa dan melanggar etika berbahasa.

Kesantunan berbahasa diperoleh dari belajar berbahasa, sedangkan etika berbahasa bersumber dari budi pekerti dan tingkah laku. Untuk masalah kemampuan berbahasa, Koentjaraningrat (1990), seorang pakar antropologi, menyatakan bahwa ada hubungan antara kemampuan berbahasa dan sikap mental para penuturnya.

Ingatan kita pun kembali ke sidang-sidang DPR di masa-masa sebelum reformasi. Memang ketika itu para anggota DPR dikenal sebagai 'Yes man' yang mengikuti saja kehendak kebijakan pemerintah. Hingga ada istilah ketika itu, panggung Srimulat yang terletak di samping gedung DPR (Taman Ria Senayan) terpaksa gulung tikar karena kalah lucu dengan para anggota DPR.

Saya pernah menjadi wartawan parlemen di masa ketua DPR, KH Achmad Syaichu, salah seorang wakil ketua Pengurus Besar NU. Sejak terjadi peristiwa G30S, parlemen dibersihkan dari unsur-unsur PKI dan kekuatan kiri, termasuk sejumlah anggota PNI yang dianggap dekat dengan kelompok kiri.

Gedungnya masih di bagian samping dari gedung sekarang yang ketika itu masih dalam pembangunan. Ketika itu, para wakil rakyat tidak mendapat perumahan seperti sekarang ini. Saya masih ingat seorang anggota DPR bertempat tinggal di Rawamangun yang ketika itu merupakan perkampungan.

Untuk makan siang, para anggota dewan yang terhormat belanja di rumah makan sederhana yang dikelola seorang haji di bagian belakang gedung DPR/MPR. Tidak pernah terjadi isu-isu para anggota dewan berbondong-bondong mengadakan studi banding ke luar negeri seperti sekarang.Hubungan antara wartawan dan anggota dewan ketika itu cukup baik.

Seperti juga sekarang, para anggota dewan kerap mendatangi press room tempat para wartawan bekerja. Tentu saja ketika itu membuat berita masih mempergunakan mesin ketik. Karena jumlahnya tidak banyak para wartawan terpaksa harus antre. Berita-berita penting kami kirimkan via telepon yang juga harus antre untuk memakainya. Maklum, internet dan ponsel belum dikenal.

Yang membuat saya terkenang soal kesantunan adalah saat sidang DPR di awal-awal Orde Baru. Meski suasana sidang tidak kalah sengitnya, tapi tidak sampai saling ejek. Apalagi, mengeluarkan kata-kata tidak sepantasnya. Zaman memang sudah berubah.

JADILAH MARYAM DALAM KEDEKATAN DENGAN TUHAN

Manusia yang baik dalam versi Tuhan adalah mereka yang siap untuk dekat dengan diriNya dengan jarak yang sedekat-dekatnya. Manusia pilihan Tuhan (al-musthafa) para nabi dan rasul itu represntasi dari kaum Adam, sedangkan manusia al-musthafayah bukanlah kaum nabi dan rasul. Di antara mereka itu adalah Maryam ibu Isa a.s. Ia tidak menikah susah dicari alasannya kalau bukan atas design Tuhan. Tidak layak kita menafsirkan fenomena Maryam sebagaimana Rabiyah al-Adawiyah, karena tidak kita baca ada orang yang melamarnya. Bahkan hampir tidak disentuh pembahasannya pada umur berapa Maryam melahirkan Isa a.s. Jika kita ketahui Maryam melahirkan Isa a.s pada umur 40 tahun, maka bisa kita tarsirkan bahwa Maryam tidak menyalurkan unsur kemanusiaanya yang memiliki hasrat terhadap lawan jenis karena sibuk atau asyik bersama Tuhan.

Yang diketahui, di antaranya, Maryam itu cinta sama Allah dan khusu' beribadah kepadaNya. Untuk itu tidak heran ia menjadi salah satu buah bibir yang positif yang dijadikan Allah Swt. Kita banyak berharap para wanita banyak yang meneladani Maryam dalam hal kedekatannya kepada Allah, tetapi tidak boleh meneladaninya dalam hal tidak menikah.

Penulis: Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.

Home Republika Online

Koran » Islam Digest

Minggu, 07 November 2010 pukul 11:35:00

Kifayatul al-Atqiya', Penjelasan Tentang Syair Tasawuf

Rubrik Kitab

Dua perkara yang sering dikhawatirkan Rasul SAW bagi umatnya adalah mengikuti hawa nafsu dan thulul amal (banyak angan-angan).

Berbicara soal dunia dan aktivitas olah spiritual seakan tak pernah ada batas akhir. Tak henti-hentinya, tiap masa dan tokoh menorehkan buah pemikiran dan kesimpulan subjektif yang dihasilkan dari proses riyadhah berkesenimbungan. Mulai dari karya yang berjilid-jilid ataupun tulisan ringkas berupa syarah, catatan pinggir hawasyi, catatan akhir hawamisy, bahkan sekadar membubuhkan komentar ta'liq. Tetapi, tetap saja karangan-karangan itu padat sehingga tetap menjadikan karya tersebut berbobot.

Tentunya, juga menarik disimak lebih mendalam. Barangkali tidak berlebihan mengatakan bahwa ini satu dari sekain bukti, betapa ilmu Allah sangat luas dan tak akan habis. Sekalipun bahtera dijadikan sebagai tinta menuliskan dan menuangkannya ke dalam tulisan.

"Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)." (QS. Al-Kahfi [18] : 109)

Salah satu karya di bidang tasawuf yaitu, Kifayatul al-Atqiya' Wa Manhaj al-Ashfiya. Satu di antara kitab berharga hasil karya Sayid Bakari al-Makki bin Sayid Muhammad Syatho ad-Dimyathi yang mensyarah kitab Hidayat al-Adzkiya' Ila Thariq al-Awliyah. Meski tak semasyhur karyanya di bidang fikih, yakni I'anatu at-Thalibin, namun sama sekali tak mengurangi nilai dan kualitas hasil karya itu.

Buktinya, meski ditulis dalam beberapa lembaran kertas yang tak lebih dari 200 halaman, syarah ini dilengkapi dengan beragam bahasan tentang arti ungkapan yang dirangkai dalam kasidah. Selain itu, pembahasannya disertai pula dengan penjelasan tentang susunan dasar dan kedudukan masing-masing kata dalam bait kasidah tersebut i'rab.

Hal ini dilakukan untuk mempermudah memahami syair Arab yang terkenal memiliki susunan yang tak konstan alias berubah-ubah. Selain itu, Syekh Bakari juga menyertakan nukilan-nukilan yang disarikan dari perkataan para ulama dan ahli tasawuf. Alhasil, syarah yang ditulisnya menjadi tampak istimewa.

Kitab Hidayat sendiri merupakan sebuah kitab yang berisi tentang kasidah olah spiritual yang dikarang oleh Zainuddin bin Syekh Ali bin Syekh Ahmad al-Ma'bari. Akan tetapi, hal terpenting yang harus ditegaskan di sini, sebagaimana ditulis Syekh Zainuddin dalam syairnya, bahwa mazhab tasawuf yang digunakan sebagai acuan mengasah ketajaman rohani adalah tasawuf Suni bukan tasawuf yang melanggar ketentuan Alquran dan sunah. "Tarekat para syekh dilandasi oleh Alquran dan sunah," ujar Zainuddin.

Ungkapan ini lantas dipertegas kembali oleh pensyarah Sayid Bakari. Sekalipun corak dan metode yang digunakan oleh para syekh sufi beragam, namun tasawuf yang mereka jalani tak keluar dari koridor sumber utama Islam, yakni Alquran dan sunah.

Fakta inipun diperkuat dengan ungkapan yang pernah dilontarkan bahkan oleh para punggawa tarekat secara langsung. Adalah tuan para sufi, sayyid al-thaifah, Al-Junaid, menegaskan, mazhab yang benar dalam bertasawuf harus mengacu pada Alquran dan sunah. Bahkan, ia pun meminta agar tak mengikuti para syekh tasawuf yang tidak mampu menghafal dan mengamalkan Alquran dan sunah. Menurutnya, kedua sumber tersebut merupakan panduan utama untuk bertasawuf.

Hal senada juga diungkapkan oleh Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Dengan jelas, ia mengatakan, mengikuti dan menaati batas-batas yang ditentukan syariat dalam bertasawuf merupakan faktor utama dalam memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya, harap dia, hendaknya para salik berhati-hati dan waspada selama proses bertasawuf ria.

"Siapa pun yang mengklaim dirinya telah sampai pada puncak tertinggi tasawuf, hakikat, tetapi di saat bersamaan dia tak mengindahkan jalur-jalur syariat maka sesungguhnya jalan yang ditempuh adalah semu dan palsu. Apa pun alasannya, karena arti syariat ataupun hakikat yang sebenarnya adalah penghambaan yang haq kepada Allah."

Takwa Inti Kebahagiaan

Lantas apa kemudian definisi syariat, makrifat, dan hakikat yang masyhur digunakan oleh para sufi?
Hal terpenting yang mesti dipahami sebelum memasuki ranah pengertian 'trilogi piramida' tasawuf adalah memperjelas arti takwa. Tampaknya, baik sang penulis syair sendiri, Sayid Zainuddin, ataupun pensyarah Sayid Bakari sepakat akan hal itu. Alhasil, bahasan pertama kali yang diuraikan penulis dalam kitab ini ialah bab tentang takwa. Sebelumnya, Sayid Bakari membahas makna basmalah, hamdalah, dan shalawat di mukaddimah syair.

Sayid Bakari menjelaskan, bagi para salik yang hendak meniti tangga menuju akhirat, maka takwa adalah titian pertama dan paling mendasar. Uraian ini dipergunakan untuk memperjelas syair yang berbunyi: "Taqwa al ilahi madaru kulli saadatin tiba'u ahwa ra'su syarrin habaila (takwa kepada Allah pusat segala kebahagiaan dan mengikuti hawa nafsu pangkal keburukan).

Takwa merupakan dasar terpenting yang mengumpulkan semua kebaikan baik dunia ataupun akhirat. Tak pelak, sejumlah kalangan pun lantas mencoba memberikan definisi yang komprehensif tentang pengertian takwa. Tetapi, kata takwa sendiri secara umum sering diartikan sebagai bentuk ketaatan atas perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya secara lahir dan batin. Sikap tersebut mesti disertai pula rasa pengagungan, tunduk, dan takut terhadap Allah.

Terdapat pula pengertian takwa yang menurut sejumlah kalangan cukup disederhanakan dengan definisi menghindari apa pun selain ridha Allah. Ada juga yang memahami takwa dengan menjauhi tiap tindakan dosa yang dilarang agama.

Mengutip perkataan an-Nashr Abadzi, Sayid Bakari menjelaskan, siapa pun yang membumikan sikap takwa maka kecenderungan yang ada di hadapannya tak lain hanyalah keinginan menjauhi dunia yang fana. Hal ini disebabkan oleh keyakinan yang amat mendalam akan janji Allah.

"Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka, tidakkah kamu memahaminya?" (QS Al An'am [6] : 32). Wasiat senantasia bertakwa tak terbatas pada umat Islam saja, tetapi juga pernah ditujukan kepada para umat terdahulu.

Sayid Bakari mengemukakan, takwa menuntut seseorang untuk menjauhi hawa nafsu yang kerap dipenuhi oleh tipu daya setan. Akibatnya, kepatuhan terhadap nafsu berakibat pada kebinasaan. Bahkan, Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sya'b al-Iman, pernah mengingatkan umatnya agar tidak teperdaya oleh nafsu setan.

Ada dua perkara yang paling dikhawatirkan Rasulullah akan menghinggapi pribadi Muslim, yaitu mengikuti hawa nafsu dan thulul amal (banyak angan-angan). Hawa nafsu dapat mengarahkan seorang Muslim jauh dari kebenaran. Sedangkan pengharapan berlebihan (banyak angan-angan), mengakibatkan lalai akan kehidupan akhirat. Apalagi, setan akan terus melakukan tipu daya dan menebarkan bisikan jahat kepada anak Adam.

Alkisah, iblis pernah menampakkan diri di hadapan Nabi Yahya AS dengan membawa rantai yang dikalungkan di tubuhnya. Nabi Yahya pun bertanya, perihal benda tersebut. Iblis menjawab, "Ini adalah syahwat yang dibelenggukan kepada anak Adam."

Dari sinilah maka dapat disimpulkan, kata Sayid Bakari, kunci menggapai kebahagiaan dan kebaikan adalah melawan kedua perkara yang diperingatkan Rasulullah tersebut. "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya." (QS An-Naziaat [79] : 40). cr1 ed: syahruddin el-fikri


Trilogi Tasawuf

Apakah yang dimaksud dengan trilogi tasawuf? Menurut Sayid Bakari, trilogi tasawuf merupakan kumpulan tingkatan penting dalam olah spiritual seorang salik. Ia menyebutkan, sedikitnya ada tiga tahapan dalam dunia tasawuf yang harus dilalui oleh para salik. Ketiga jenjang ini pada dasarnya adalah pengejewantahan dari makna takwa.

Agar tidak terjadi ketimpangan, maka ketiganya harus diterapkan secara keseluruhan, yakni syariat, tarekat, dan hakikat untuk mencapai puncak makrifat (pengetahuan). Syariat tanpa hakikat adalah kosong dan hakikat tanpa syariat adalah batal serta tak berdasar.

Jika dianalogikan, maka syariat itu ibarat perahu, tarekat adalah bahteranya, dan hakikat adalah pulau yang hendak dituju dari perjalanan itu. Dengan demikian, hakikat tak akan mampu dituju oleh salik, tanpa menggunakan perahu dan melalui bahtera.

Syariat adalah wujud ketaatan salik kepada agama Allah dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Menurut Syekh Ali bin al-Haitami, syariat adalah segala sesuatu yang ditanggungkan kepada seorang hamba. Sedangkan hakikat adalah inti dan makna dari perkara tertentu.

Syariat diperkuat dengan hakikat dan hakikat dibatasi oleh ketentuan hukum syariat. Sehingga, keberadaan syariat seharusnya mampu mendorong komunikasi langsung syuhud antara seorang hamba dan khalik tanpa perantara apa pun.

Selanjutnya, makna dari tarekat adalah aktivitas dan sikap kecenderungan berhati-hati, utamanya menghadapi gemerlap dunia. Misalnya, bersikap wara', yang menurut al-Qusyairi diartikan dengan keberanian meninggalkan perkara yang tak jelas asal-usul dan hukumnya syubhat.

Sedangkan bagi al-Ghazali, wara' memiliki empat level yang berbeda. Tingkatan yang paling rendah adalah wara' kalangan awam. Tingkat wara' ini bisa dibuktikan dengan meninggalkan perkara yang dihukumi haram oleh para ahli fikih. Di antaranya riba dan bentuk transaksi tidak sah lainnya. Level kedua wara' adalah tingkatan orang saleh yaitu meninggalkan syubhat.

Di susul kemudian dengan tingkatan wara' yang ketiga ialah wara' para ahli takwa. Wara' yang dilakukan bukan sekadar meninggakan hal yang dilarang ataupun syubhat, tetapi meninggalkan perkara yang memang jelas-jelas halal dan diperbolehkan agama. Hanya saja, takut yang berlebihan bisa menimbulkan masalah. Sedangkan tingkatan wara' tertinggi adalah wara' orang-orang yang tulus dengan meninggalkan segala kecacatan.

Jenjang tertinggi dalam dunia tasawuf adalah hakikat, yaitu keberhasilan salik mencapai arti dari sebuah ritual tertinggi, yakni makrifat. Makrifat adalah kemampuan untuk berkomunikasi dan melihat cahaya penampakan tajalli akan Tuhan Yang Maha Esa. Menurut al-Ghazali tajalli merupakan penglihatan di dalam hati terhadap cahaya-cahaya alam gaib, terlebih khusus cahaya Allah SWT.

Makna ini selaras dengan pendapat yang disampaikan oleh al-Qusyairi, tatkala membedakan antara definisi syariat dan hakikat. Menurut dia, syariat adalah melaksanakan ritual penghambaan dan hakikat adalah melihat esensi dan ketuhanan dengan hatinya.

Untuk mencapai ketiga piramida trilogi tasawuf ini bukan hal mudah. Makanya, imam as-Sya'rani menegaskan dalam mukaddimah kitab al-Manan al-Kubra, bahwa hampir seluruh syekh tarekat tasawuf sepakat bahwa tak seorang pun boleh mengajarkan dan memberikan bimbingan tentang hakikat, kecuali telah menguasai syariat secara benar dan mendalam.

Langkah ini pulalah yang ditekankan oleh sejumlah tokoh tarekat terkemuka lainnya. Seperti Syekh Abu al-Hasan as-Syadzlili, pendiri tarekat as-Syadziliyah. "Barangsiapa yang kehilangan akar tak akan berhasil mencapai puncak," kata imam as-Sya'rani sebagaimana dinukil Sayid Bakari. cr1 ed: syahruddin el-fikri

Selasa, 09 November 2010

Reader Society

Salah satu yang membedakan antara mahasiswa dengan siswa adalah dari sisi aktivasi mencari informasi. Mahasiswa tidak terlalu banyak tergantung sama dosen dalam mencari informasi. Mahasiswa semestinya proaktif mencari informasi itu baik melalui buku maupun internet.

Jika guru tidak hadir di sekolah, biasanya gurunya diganti. Jika tidak penggantinya, para siswa berdiam atau main-main. Sementara mahasiswa, jika tidak ada dosen, tidak mesti diganti oleh dosen lain. Dia tahu apa yang ia lakukan. Mengunjungi perpustakaan atau memanfaatkan waktu dengan teman-teman untuk mendiskusikan materi perkuliahan.

Mahasiswa layaknya menyandang sikap reader society atau masyarakat pembaca. Masyarakat pembaca bagaikan orang pergi ke sekolah tanpa mandi merasa tidak enak. Demikian juga reader society merasa ada yang tidak enak kalau ia belum membaca buku.

Untuk bisa mencapai reader society tentu tidak seperti lampu aladin yang sim sala bin. Ia membutuhkan proses latihan. Seringlah memaksakan diri membaca. Carilah bacaan yang menarik minat Anda. Jika Anda mulai membaca yang diminati, tentu ada saja yang perlu Anda ketahui selanjutnya. Jika Anda tidak menemukan masalah dalam minat bacaan Anda. Rumuskanlah masalah-masalah, sehingga Anda tertantang untuk mencarinya sampai dapat.

Penulis: Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.