ISLAM AGAMA KESEHATAN

ISLAM AGAMA KESEHATAN

Senin, 07 April 2014

Kuliah Kelima Tasauf

Perbandingan Cara Pandang Filsafat dan Tasauf Melihat Tuhan
Kuliah Kelima Tasauf
Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.

A.     Filsafat Ketika Dipelajari Tasauf Ketika Diamalkan
Perlu dikemukakan kembali pendapat Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara bahwa tasauf itu ketika dipelajari sebagai filsafat, tetapi ketika diamalkan sebagai tasauf. Untuk itu sebagian berpendapat termasuk Mulyadhi bahwa tasauf itu tidak bisa dipelajari, tetapi bisa diamalkan saja. Artinya, bertasauf itu urusan praktek bukan teori.
Pernah kita Anda berbuat kebaikan dengan tulus ikhlas karena kebaikan itu merupakan kepribadianmu. Dalam makna seperti ini, tasauf bagaikan akhlak, yaitu perbuatan baik yang dengan mudah dan ringan dilaksankan tanpa proses berpikir. Karena ini urusan dalam, maka susah dinilai dengan benar. Selain itu, di zaman sekarang agak susah kita mendapat manusia yang tulus berbuat baik. Ciri-cira manusia seperti ini, ia lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya. Di satu sisi, orang bilang bagaikan lilin, menerangi, tetapi ia hancur. Dalam konsep tasauf tentu tidak bisa disamakan dengan lilin. Yang dapat diterima, itulah pengorbanan.
”Suka berkorban”, tapi bukan  jadi korban. Berkorban itu nilainya tinggi, sementara korban nilainya rendah. Dus, dua konsep yang sangat berjauhan antara berkorban dan korban. Berkorban itu perbuatan mulia, sementara korban itu akibat kelemahan, sehingga mengundang belas kasihan. Kalau bukan karena konsep pengorbanan buat apa Rasulullah Saw. memperjuangkan Islam ini. Resistensi ia dapatkan dari dalam dan luar. Ia siap dimusuhi oleh keluarga terdekatnya, bahwa siap untuk mempertaruhkannya nyawanya untuk Islam sebagai ketaatan kepadaNya.
Na’uzu billah, iman kita boleh jadi lemah. Kekuatan iman itu akan kelihatan ketika behadapan dengan tantangan kehilangan nyawa. Sahabat Rasul dulu banyak yang bercita-cita mati syahid dalam peperangan. Sekarang ini, kesiapan mati syahid demi ketaatan kepada Allah boleh jadi cerita yang jarang kita dengar.
Alkisah menceritakan bahwa ada seorang ust. yang punya penyakit mag, sehingga ia dilarang oleh dokter puasa. Karena sudah lama ia tidak puasa, suatu saat jiwa ketaatannya melawan dan berkata, ”saya akan puasa walaupun harus mati”. Mungkin seperti inilah kualitas jiwa yang diinginkan oleh tasauf itu.
Filsafat berbicara dengan akalnya sementara tasauf dengan hatinya. Dalam pandangan filsafat itu, Tuhan itu sangat jauh dan tidak terjangkau. Akal tidak pernah selesai jika berbicara Tuhan, karena Tuhan itu Maha Gaib, tapi menurut Mulyadhi justru Ia Paling Nyata, karena Ialah yang pasti Ada dan mustahil tiada, sementara yang lainnya, tiada karena ia mungkin menjadi tidak ada.
Tasauf memangdang Tuhan itu sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi kita. Mereka merujuk dari Q.S. Qaf/50: 60.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya, ”Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui
apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya,” (Q.S. Qaf/50: 60.)
Karena Tuhan begitu dekat dalam pandangan tasauf,  maka terkadang mereka tahu apa yang diketahui Tuhan karena diberitahu olehNya. Itulah yang kelak yang dipelajari dalam pembahasan ”ma’rifah”. Kalau tidak tahu batasannya seakan-akan sufi itu seperti dukun yang bisa mengetahui hal yang gaib. Bedanya dukun kalau ditanya selalu bilang tau. Sementara sufi yang memiliki ma’rifah tidak selama ia tau. Ia tau karena diberitau oleh Tuhan dan ia tidak tau, jika tidak diberitahuNya. Dukun selalu tau, jika ia tidak tau, maka ia menjadi tidak dukun lagi. Dukun mengetahuinya bukan dari Tuhan, tapi dari cara yang tidak dibenarkan agama dan cenderung mereka menduga-duga saja, walaupun terkadang tebakan mereka benar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar