kreasi2010
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok
ulamayang dijuluki sebagai
Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan
masyarakat yang disebut
Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti
perjudian,
penyabungan ayam,
penggunaan madat,
minuman keras,
tembakau,
sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama
Islam.
[2] Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai
perang saudara yang melibatkan sesama
Minang dan
Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh
Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh
Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu
Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada
Belanda pada tahun
1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda.
Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga.
Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.